Presiden Joko Widodo resmi meluncurkan program pendidikan dokter spesialis (PPDS) berbasis rumah sakit atau hospital based. Program ini diharapkan bisa menjawab kebutuhan kekurangan dokter spesialis di Indonesia yang saat ini masih berada di peringkat terendah ke-147 di dunia.
Berdasarkan rasio ideal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) satu per seribu penduduk, angka ketersediaan dokter spesialis berada di 0,45. Bila ketersediaan tersebut tidak terpenuhi, Jokowi menyinggung dampaknya pada efek bonus demografi yang kemungkinan berakhir sia-sia.
"Bahwa 10-15 tahun yang akan datang kita akan mendapatkan bonus demografi 68 persen pdenduduk usia produktif kita akan muncul dan itu yang akan kita jalani, kita persiapkan, kita perbaiki semuanya," tandas Jokowi di RSAB Harapan Kita, Senin (6/5/2024).
Menurutnya, ketersediaan alat yang selama ini sudah disebar ke puskesmas dan RS di wilayah terpencil tidak lantas menjadi solusi kendala pengobatan di daerah-daerah. Krisisnya jumlah dokter spesialis dan masalah distribusi SDM yang masih terfokus di pulau Jawa masih menjadi kendala utama.
Indonesia saat ini hanya mampu memproduksi sekitar 2.700 dokter spesialis setiap tahun. "Artinya memang sangat kurang sekali, ditambah tadi masih ada tambahan distribusinya yang tidak merata, rata-rata semua dokter spesialis ada di Jawa dan di kota," sebut dia.
"Oleh sebab itu sekali lagi harus ada terobosan. PPDS ini harus menghasilkan dokter spesialis yang sebanyak-banyaknya, dengan standar internasional," lanjut Jokowi.
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyebut program hospital based akan menjadi sejarah pertama kalinya dokter menjalani pendidikan spesialis tanpa biaya dan mendapatkan gaji karena masuk ke dalam sistem kontrak setiap RS.
Walhasil, menurutnya pendidikan dokter juga berjalan dengan status yang lebih jelas.
"Jadi pendidikan dokter spesialis sama dengan pendidikan dokter di dunia tidak usah bayar uang kuliah, mereka akan menjadi tenaga kontrak di RS, sehingga mendapatkan benefit yang normal seperti bekerja," tuturnya.
"Perlindungan kesehatan hukum jam kerja yang wajar dan statusnya bukan pembantu," pungkasnya.
No comments:
Post a Comment